>
Oleh : Abdullah Sholeh Hadrami, @AbdullahHadrami
DI antara langkah syetan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia yaitu dengan memutuskan tali hubungan pada sesama umat Islam.
Ironisnya, banyak umat Islam yang terpedaya ikuti langkah-langkah syetan itu. Mereka menghindar serta tidak menegur saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Umpamanya karena pertikaian masalah harta atau karena kondisi buruk yang lain.
Terkadang putusnya hubungan itu berlangsung selalu sampai setahun. Bahkan juga ada yang bersumpah tidak untuk mengajaknya bicara selamanya atau bernadzar tidak untuk menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan, ia segara buang muka. Bila berjumpa di satu majlis, ia cuma menyalami orang yang sebelum dan selanjutnya, dan sengaja melewatinya.
Berikut satu diantara sebab kelemahan didalam masyarakat Islam. Karenanya, hukum syariat dalam permasalahan itu sangat tegas dan ancamannya juga begitu keras.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudara (sesama muslim) lebih dari tiga hari. Barangsiapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal, maka ia masuk Neraka. ” (HR. Abu Dawud, 5/215 ; Shahihul Jami’, 7635.)
Abu Khirasy Al-Aslami radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memutuskan hubungan dengan saudaranya selama setahun jadi ia seperti mengalirkan darahnya. ” (HR. Al Bukhari, Al-Adabul Mufrad, no. 406 ; Shahihul Jami’ 6557.)
Untuk membuktikan begitu buruknya memutuskan hubungan antar sesama muslim, cukup dengan mengetahui kalau Allah menolak memberi ampunan pada mereka. Dalam hadits kisah Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Semua amal manusia diperlihatkan (pada Allah) pada setiap Jum’at (setiap minggu) 2 x : hari Senin dan hari Kamis. Jadi setiap hamba yang beriman diampuni (dosa-nya) terkecuali hamba yang pada dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. ” Difirmankan pada malaikat : “Tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini, hingga keduanya kembali berdamai. ” (HR. Muslim, 4/1988.)
Bila salah seorang dari keduanya bertaubat pada Allah, ia harus bersilaturrahmi pada kawannya dan lalu memberi salam. Bila ia sudah melakukannya, namun sang kawan menolak, jadi ia sudah lepas dari tanggungan dosa. Mengenai kawannya yang menolak damai, jadi dosa ini tetap ada kepadanya.
Abu Ayyub radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal untuk seorang lelaki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan namun yang ini buang muka serta yang itu (juga) buang muka. Yang terbaik diantara keduanya yakni yang memulai salam. ” (HR. Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 10/492.)
Namun bila ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat atau terus-menerus melakukan maksiat, sedang pemutusan hubungan itu bermanfaat untuk yang berkaitan, misalnya membuatnya kembali pada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah, jadi pemutusan hubungan itu hukumnya jadi harus.
Namun apabila tidak merubah kondisi dan ia jadi berpaling, tidak bisa memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak menghasilkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang benar yaitu terus-menerus berbuat baik dengannya, menasehati dan mengingatkannya. (Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada Ka’ab bin Malik dan dua kawannya, karena beliau melihat dalam hajr itu ada maslahat.
Demikian sebaliknya beliau menghentikan hajr pada Abdullah bin Ubay bin Salul dan beberapa orang munafik yang lain, karena hajr pada mereka tidak membawa manfaat. (Ibnu Baz).)
(Dari kitab “Muharramat Istahana Bihan Naas” karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid/alsofwah). islampos